Thanks for BUMI (Buddhis Muda Indonesia) Tangerang for share this article..let me share this artikel for more people. :)
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pindapatta?
Pindapata berasal dan dua suku kata, yaitu: Pinda dan Patta. Pinda berarti gumpalan/bongkahan (makanan) dan Patta berarti mangkuk makan. Jadi dapat diartikan pindapata adalah pengumpulan makanan dengan mangkuk oleh para bhikkhu dari rumah ke rumah penduduk.
Bagi bhikkhu yang menjalankan praktik keras (Dhuthanga) harus melakukan pindapata sebagai salah satu peraturan praktiknya. Ada lima peraturan tentang makanan bagi bhikkhu yang menjalani praktik Dhutanga ini, yaitu:
- tekad hanya makan dari hasil pindapata (pindapatikanga)
- tekad untuk menerima dana dari rumah ke rumah tanpa kecuali (sapadanacarikanga)
- tekad makan tanpa selingan (ekasanikanga)
- tekad memakan hanya makanan yang ada dalam mangkuk (pattapindikanga)
- dan tekad tidak makan lagi setelah selesai makan (kalupacchabhattikanga).
Asal mula tradisi pindapatta.
Pada zaman dahulu, para petapa umumnya meminta dana makanan ke rumah-rumah penduduk untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. Begitu pula dengan Sang Buddha, setiap pagi Sang Buddha dan rombongan para bhikkhu pergi meninggalkan vihara, memasuki desa atau kota untuk berpindapata. Pindapata ini merupakan suatu cara pendekatan masyarakat secara Agama Buddha. Tak jarang ketika Sang Buddha dan para bhikkhu berpindapata, masyarakat tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Sang Buddha atau para bhikkhu, seperti Upatissa yang begitu terkesan melihat bhikkhu Assaji yang sedang berpindapata atau Bahiya yang berpakaian kulit kayu (Bahiyadaruciriya) berjumpa Sang Buddha saat Beliau berpindapata dan memohon Sang Buddha memberikan uraian Dhamma. Mereka berdua pada akhirnya tertarik untuk menjalani kehidupan kebhikkhuan, Upatissa kelak dikenal dengan nama Sariputta, namun kondisi karma buruk Bahiya berbuah, Beliau meninggal diseruduk sapi (jelmaan Asura) ketika mencari perlengkapan kebhikkhuannya, tetapi Bahiya telah mencapai tingkat kesucian Arahat setelah ia mendengar beberapa kalimat Dhamma dari Sang Buddha.
Bagaimanakah asal mula dan tradisi pindapatta ini bemula?
Pada tahun ketiga, Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu atas undangan dari Raja Suddhodana. Beliau beserta rombongan yang berjumlah dua puluh ribu bhikkhu berangkat dari Rajagaha menuju Kapilavatthu.
Sang Buddha beserta rombongan tiba di Kapilavatthu dan berdiam di Nigrodarama. Raja Suddhodana dan penduduk berduyun-duyun menemui Sang Buddha. Karena mengetahui bahwa para orang tua suku Sakya memiliki watak yang sombong, Sang Buddha menunjukkan keajaiban ganda (yamakapatihariya) kepada mereka. Api menyala di bagian atas tubuh Beliau dan air memancar dari tubuh bagian bawah dan sebaliknya. Setelah orang-orang suku Sakya dapat diyakinkan bahwa Sang Buddha telah mencapai ke-Buddha-an, kemudian Beliau duduk dengan tenang di tempat yang telah disediakan.
Raja Suddhodana menanyakan kabar Sang Buddha dan mengajukan beberapa pertanyaan lainnya kepada Beliau. Di akhir tanya-jawab Raja Suddhodana berhasil memperoleh mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Berhubung tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha berserta rombongan memasuki kota Kapilavatthu untuk berpindapata. Penduduk kota menjadi gempar. Memang mereka sering melihat seorang petapa atau brahmana berpindapata, tetapi baru sekarang mereka menyaksikan seorang berkasta Khattiya, putra dari seorang raja, berpindapata. Berita ini sampai ke telinga Raja Suddhodana, dan raja segera menemui Sang Buddha dan menegur Beliau. "Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapakah anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra raja meminta-minta makanan di kota, tempat ia dulu sering berjalan-jalan dengan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayahnya seperti ini?"
"Aku tidak membuat ayah malu, Oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kita," jawab Sang Buddha dengan tenang. "Apa, kebiasaan kita? Bagaimana mungkin! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?"
"Oh, baginda, ini memang bukan merupakan kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di jaman dahulu hidup dengan jalan mengumpulkan dana makanan dari para penduduk."
Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta rombongan mengambil makanan di istana, maka berangkatlah Sang Buddha berserta rombongan ke sana.
Kewajiban bhikkhu atau samanera yang berpindapatta
Ada enam kewajiban yang harus dilakukan (kiccayatta) oleh bhikkhu atau samanera yang berpindapata. Enam kewajiban itu adalah:
1. Ia harus mengenakan jubahnya dengan rapi. Ketika berpindapata dan setiap kali keluar dari vihara, para bhikkhu harus mengenakan jubahnya dengan tertutup rapi. Tetapi, karena di Indonesia biasanya pindapata direncanakan dan dilaksanakan di lingkungan vihara, maka jubah bhikkhu biasanya terbuka pundak sebelah.
2. Ia harus meletakkan mangkuknya di bawah jubah (mangkuk terlindungi oleh jubah). Mangkuk merupakan salah satu dari delapan harta (attha parikara) yang dimiliki oleh seorang bhikkhu selain tiga lembar jubah, ikat pinggang, jarum-benang, saringan air, dan pisau cukur. Karena itu, seorang bhikkhu harus melindungi mangkuknya agar jangan sampai hilang atau jatuh ketika ia berpindapata.
3. Sebelum meninggalkan vihara, ia harus menyiapkan tempat duduknya, air minum, air pencuci tangan, pencuci kaki, pencuci mangkuk, dan perlengkapan kebhikkhuan lainnya.
4. Ia melaksanakan pindapata sesuai dengan tata tertib `Sekkhiyadhamma'. Sekkhiyadhamma adalah bagian dari Patimokkha Sila yang berisikan peraturan tentang kesopanan bagi seorang petapa. Terdapat tiga puluh peraturan tentang cara menerima makanan dan memakannya. Ketika menerima makanan, seorang Pindapatacarika (bhikkhu yang berpindapata) harus menerima makanan dengan hati-hati, perhatian pada mangkuk, menerima makanan dengan perbandingan yang sesuai yaitu satu bagian lauk dengan empat bagian nasi, dan menerima makanan sesuai dengan ukuran mangkuknya, tidak berlebihan.
5. Ia hendaknya penuh perhatian pada waktu berada di tempat penduduk. Ketika berada di pemukiman penduduk sebagai seorang Ariya, Pindapatacarika hendaknya berlaku tenang, penuh perhatian, dan penuh pengendalian diri. Ia tidak memandang atau berbicara kepada orang yang memberinya dana makanan. Ia juga tidak boleh memilih rumah yang dihampirinya, apakah pemilik rumah itu orang kaya atau miskin karena mereka semua harus diberi kesempatan untuk berbuat baik.
6. Ketika berpindapata, seorang Pindapatacarika tidak mengenakan alas kaki (sandal/sepatu), maka setelah ia kembali ke vihara dan sebelum memakan dana makanan hasil pindapatanya, ia harus mencuci kakinya terlebih dahulu. Begitu pula umat yang memberikan dana makanan harus melepaskan alas kaki, ketika memberikan dana makanan kepada bhikkhu yang berpindapata.
Peraturan Pacittiya menjelaskan bahwa jika ada umat yang mengundang bhikkhu untuk menerima dana makanan, maka bhikkhu itu dapat menerima tiga mangkuk penuh apabila ia mau. Apabila ia menerima lebih dari tiga mangkuk, maka ia melanggar peraturan pacittiya. Makanan yang ia terima itu harus pula dibagi kepada bhikkhu lain. Seorang bhikkhu juga dilarang untuk makan di luar waktu yang telah ditentukan (lewat dari tengah hari). Jika melakukan hal ini, maka ia melanggar pacittiya.
Dalam Pindapataparisudhi Sutta, Maijhima Nikâya, Sang Buddha memberikan nasehat kepada para bhikkhu agar selalu menjaga diri sehingga pikiran mereka tetap murni ketika sedang berpindapata atau ketika sedang makan yaitu dengan cara membuang nafsu keinginan, menghapus penghalang, serta mengembangkan pengetahuan tentang Tujuh Faktor Penerangan Sempurna lewat perjuangan yang terus-menerus.
Bagi seorang bhikkhu, ada perenungan yang harus dilakukannya ketika ia menggunakan empat kebutuhan pokok, yaitu perenungan sebelum penggunaan (Tankhanikapaccavekkhana) dan perenungan setelah penggunaan (Atitapaccavekkhana).
la harus merenungkan tujuan sebenarnya dari penggunaan kebutuhan itu. Penggunaan jubah adalah untuk melindungi tubuh dari gigitan serangga dan menutupi organ tubuh yang dapat menimbulkan rasa malu.
Makanan untuk mengurangi penderitaan dari rasa lapar, tempat tinggal untuk melindungi diri dari bahaya iklim, dan obat-obatan untuk kesembuhan dari rasa sakit.
Maksud dan tujuan dari perenungan ini adalah untuk mengurangi keserakahan yang muncul dari kebodohan dan kebencian, agar menimbulkan pengertian yang benar dari penggunaan empat kebutuhan pokok itu tanpa keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Pahala berdana makanan
Dalam Anguttara Nikâya IV.57, Sang Buddha memberikan khotbah singkat kepada seorang wanita dari suku Koliya, Suppavasa.
Ia adalah ibu dari Bhikkhu Sivali, Arahat yang paling beruntung. Khotbah ini disampaikan setelah Beliau menerima dana makanan darinya. "Dengan memberikan makanan, seorang siswa yang luhur memberikan empat hal kepada penerimanya. Apakah yang empat itu? Dia memberikan usia panjang (ayu), keelokan (vanno), kebahagiaan (sukha) dan kekuatan (bala).
Dengan memberikan usia panjang, dia sendiri akan memiliki usia panjang.
Dengan memberikan keelokan, dia sendiri akan memiliki keelokan.
Dengan memberikan kebahagiaan, dia sendiri akan memiliki kebahagiaan.
Dengan memberikan kekuatan, dia sendiri akan memiliki kekuatan.
Keempat pahala ini akan diperolehnya secara manusiawi (duniawi) dan surgawi.
Dengan memberikan makanan, seorang siswa yang luhur memberikan empat hal kepada penerimanya."
Merupakan kewajiban bhikkhu (vatta), setelah menerima dana makanan membacakan Anumodana Gatha atau khotbah Dhamma singkat kepada umat yang berdana. Kalimat yang diucapkan biasanya berbunyi, "Ayu, vanno, sukham, balam" artinya semoga Anda panjang umur, cantik/tampan (elok), bahagia, dan kuat.
Sumber:
Biro Pendidikan Bhikkhu/Samanera Sangha Theravada Indonesia, Samanera Sikkha.
Widyadharma, Sumedha, MP., Riwayat Hidup Buddha Gotama, cetakan ketigabelas, Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, 1993
Dra. Lanny Anggawati dan Dra. Wena Chintiawati, Anguttara Nikaya 2, Vihara Bodhivamsa Klaten, 2002
Thanks for BUMI (Buddhis Muda Indonesia) Tangerang for share this article..let me share this artikel for more people. :)
APABILA ANDA MERASAKAN MANFAAT DARI ARTIKEL INI klik link ini Be Happy! :)
Ko, aku ijin ambil foto yang Bhante Piyasilo sedang berpindapata ya..
BalasHapusTrims ^_^
Dewi Q. S._VTDG
saddhu... saddhu.. saddhu _/\_
BalasHapusCasino - Mapyro
BalasHapusHotel Review, 여수 출장안마 Ratings & Info - Casino at 경상남도 출장샵 Mapyro, United States หาเงินออนไลน์ - 공주 출장안마 Mapyro 춘천 출장마사지 is a fun and easy way to Casino. Mapyro Casino. Mapyro Casino