oleh : Maria Hartiningsih
Andai Ajahn Brahmavamso (60) tidak menjadi bhikku, barangkali dia sudah jadi pelawak atau aktor. Ceramahnya ringan, segar, dan jenaka. Lelucon-leluconnya mengandung pesan moral tak bersekat, tidak menggurui, tidak menghakimi dan langsung kena di hati.
Kisah-kisah yang disampaikan Ajahn Brahm, begitu sapaannya, merupakan antitesis dari seluruh standar yang dibangun di atas gagasan umum tentang ”kesuksesan” dan ”keberhasilan”. Melalui cerita, ia mengajak orang memasuki esensi hidup; wilayah lebih dalam dari ”kulit luar” kehidupan yang memesona, sekaligus mengikat, melekat.
”Kalau saya tahu akan menjadi bhikku, saya tak perlu belajar sekeras itu di universitas hahahaha...” ujar Ajahn Brahm, membuka ceramah Minggu (27/3) petang bertema ”Let Go Ego” di Jakarta, yang dihadiri lebih 5.000 orang.
”Begitu menjadi bhikku, saya harus melepas semuanya, termasuk melepas banyak pacar… hehehe..... Begitu melepas semua, saya merasa sangat bahagia…” ujarnya.
Melepas, menanggalkan, meninggalkan adalah esensi Dharma yang sangat ia pahami setelah sembilan tahun menjadi petapa di hutan Thailand. ”Jika Anda benar paham fisika kuantum, Anda harus mampu membuat pelayan bar paham,” begitu kata pakar fisika kuantum, Werner K Heisenberg.
”Bercerita adalah cara yang indah untuk menyampaikan pesan,” ujar Ajahn Brahm, ketika ditemui di Jakarta, Senin (28/3) pagi, di ujung akhir 15 acara di berbagai kota selama 10 hari di Indonesia.
”Suatu cerita akan menghubungkan pengalaman orang yang satu dengan yang lain karena kita berada di dalam jaring kehidupan.”
Cerita keledai
Ajahn Brahm dikenal sebagai ”Ajahn Nike” karena selalu mengatakan just do it (lakukan saja)—promosi dagang sepatu merek Nike—untuk mendorong agar orang tidak mengeluh dan menggerutu. ”Semua pengalaman adalah pupuk bagi hidup,” katanya.
”Suatu ketika ada seekor keledai yang menjelajah hutan dengan riang, sampai tak sadar ia terperosok ke dalam sumur tua. Untung sumur itu kering dan tak terlalu dalam. Tetapi, keledai tak bisa memanjat, jadi ia berteriak, minta tolong, E..o.. eeoo eeooo.. ”
Suara itu memancing seorang petani mendekat. Petani itu benci keledai, tetapi ia juga tahu, sumur itu sumber bahaya. Maka, dengan sekopnya, ia mengisi tanah ke dalam sumur untuk mengubur si keledai hidup-hidup, sekaligus menutup sumur. Menyadari yang terjadi, si keledai menjerit. Ia sedih dan takut.
Setelah beberapa saat, keledai itu mendapat apa yang dalam pandangan Buddha disebut ”pandangan cerah”. Ia merangkul kekinian, dan... just do it. Tak ada suara lagi, sampai petani itu berpikir, ”Terkubur sudah keledai bego itu.”
Padahal, setiap sekop tanah yang menimpa punggungnya, si keledai menggoyang luruh tanah itu, lalu menginjak-injaknya hingga padat di bawah. Maka ia naik satu inci lebih tinggi. Begitu seterusnya. Petani yang sibuk menyekop tanah tak menyadari sepasang telinga mulai muncul di mulut sumur. Ketika pijakan sudah cukup tinggi. Keledai itu melompat keluar dari sumur dan melarikan diri.
”Saya ceritakan kisah ini pada Presiden Sri Lanka. Saya bilang, jika menghadapi kritik, berlakulah seperti keledai, goyang, luruhkan, dan Anda seinci lebih tinggi. Anda hanya perlu merangkul kekinian,” ujar Ajahn Brahm, ”Itulah let go ego....”
Maksudnya?
”Jangan biarkan orang lain merenggut kebahagiaanmu dengan membuatmu marah, kecewa, sedih,” ia menjelaskan makna melepas ego, yang dalam hidup sehari-hari dipahami sebagai ”menerima dengan keikhlasan yang tulus”.
Cinta dan welas asih
Namun, tindakan melepas ego tak semudah mengucapkannya. Orang bertahan hidup dengan ego, kemudian sulit mengendalikannya. Ketika nafsu keinginan yang tak ada batasnya menguasai pikiran, orang tak tahu batas cukup dan tak bisa mensyukuri karunia hidup.
”Sandaran kebahagiaan bukan hal-hal yang bersifat material, ’kulit luar’ itu,” ujar Ajahn Brahm.
Menurut dia, segala bentuk kekerasan di dunia disebabkan oleh ego, oleh rasa takut dikalahkan. ”Terlalu banyak kompetisi, dan sangat sedikit kerja sama,” tuturnya.
Pendidikan bisa memutus rantai itu, kata Ajahn Brahm. Sejak dini, anak dilatih menyeimbangkan kerja sama sosial dengan prestasi pribadi. Dimulai dengan 70 persen prestasi pribadi dan 30 persen nilai rata-rata kelas, sampai benar-benar seimbang. Itu akan mendorong anak bekerja sama untuk menutup kekurangan teman.
”Kementerian Dalam Negeri Inggris dari kabinet lalu memberi promosi bagi kerja sama, bukan prestasi pribadi. Penghargaan pada proses, bukan hasil akhir, pada ketulusan, kejujuran. Alangkah damainya kalau kita bisa menanggalkan gagasan menjadi yang terhebat,” kata Ajahn Brahm.
Gagasan itu melawan dalil umum tentang kemenangan sebagai hasil kompetisi sehingga acap dicapai dengan kecurangan. Di bidang politik, misalnya, terlihat sangat jelas, meski atas nama demokrasi. Padahal, cara itu berlawanan dengan arti ’kandidat’, yang berasal dari kata Latin candidatus, artinya putih.
”Pada zaman Romawi, kandidat posisi politik menggunakan jubah putih dalam kampanye pemilihan umum. Warna putih melambangkan bersih dari dosa, kemurnian, ketulusan,” jelasnya.
Menurut Anda, apa persoalan terbesar di dunia saat ini?
Kompetisi membuat orang kehilangan cinta dan welas asih. Situasi seperti ini membahayakan kehidupan karena menghancurkan kemanusiaan. Mari memahami bahwa bumi ini adalah rumah kita bersama. Kita saling terkait, terhubung, dan saling bergantung. Kita ini satu. Mari bekerja sama dengan tulus untuk menyelamatkan kemanusiaan dan bumi kita bersama.
Merangkul
Sosok Ajahn yang kocak, jenaka di atas panggung berbeda dengan sosoknya ketika ia ditemui secara khusus. Senyumnya lepas, namun ia lebih serius. Sorot matanya tajam dan terasa mampu membaca gerak pikiran lawan bicaranya.
Ia menyebut secara khusus nama Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, dan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang merangkul dan menolak kekerasan. Beberapa kali Ajahn Brahm juga diundang ke acara lintas agama. Pernah, undangan disampaikan lewat telepon, dan ia diminta mengeja namanya. Ia mengejanya, ”B untuk Buddhis, R untuk Roma Katolik, A untuk Anglikan, H untuk Hindu, M untuk Muslim....”
Menurut Ajahn Brahm, meditasi dan memaafkan merupakan sumbangan Buddhisme pada dunia. Pada semua jenis mistisisme dari berbagai tradisi spiritual, meditasi merupakan jalan menuju pikiran yang murni dan kokoh. Di puncak keheningan akan dipahami apa yang disebut ”diri”, ”Tuhan”, ”dunia”, ”alam semesta”, dan segalanya.
Kisah favorit Ajahn Brahm adalah Winnie the Pooh, beruang lembut yang tak pernah belajar di sekolah. Ia adalah beruang dengan otak kecil yang membuatnya sangat bijak. Ia tidak berpikir, tetapi melihat dan mengetahui sehingga ia begitu mudah dicintai.
Anda ingin menjadi siapa dalam cerita itu?
Winnie the Pooh hehehe…
Yang membuat Anda sedih atau menyesal?
Penyesalan dan kesedihan tak punya arti khusus buat saya karena saya telah melepas masa lalu. (Dalam salah satu ceramahnya, ia bercerita saat ayah yang sangat ia cintai meninggal. Ketika keluar dari krematorium di tengah gerimis tipis, ia tahu tak akan bisa bersamanya lagi. Namun, ia tidak menangis. Suara hatinya mengatakan, ”Ayah saya sungguh hebat. Hidupnya merupakan inspirasi luar biasa. Betapa untungnya saya telah menjadi putranya. Waktu itu saya menggenggam tangan ibu saya menuju perjalanan panjang masa depan. Saya merasa bahagia, seperti baru saja usai menonton konser terhebat. Saya tak akan pernah melupakannya. Terima kasih, Ayah...”)
Tentu saja ada banyak kesedihan jika Anda melihat tsunami di Jepang, menyaksikan orang berkelahi, berperang. Daripada sedih, saya melakukan sesuatu. Itu sebabnya saya banyak melakukan perjalanan dan berbagi.
Yang membuat Anda bahagia?
Yang paling penting adalah kebahagiaan saya sendiri dan kebahagiaan orang lain. Namun, setelah bertahun-tahun hidup sebagai petapa, saya tak mampu lagi membedakan antara kebahagiaan orang lain dan kebahagiaan saya. Itu sebabnya saya bepergian dan melayani sebanyak mungkin, memberi ceramah, menceritakan kisah-kisah kocak, membuat orang tertawa.
Anda bisa marah?
Hhmmm... Anda harus berusaha keras untuk membuat saya marah hahahaha....Kompas, Minggu 10 April 2011